
Dinamika Kekuatan Global di Laut Arktik
Delapan negara memiliki wilayah di dalam Lingkar Arktik—Amerika Serikat, Rusia, Kanada, Norwegia, Denmark (melalui Greenland), Islandia, Swedia, dan Finlandia. Dari delapan negara ini, lima memiliki garis pantai yang berbatasan langsung dengan Samudra Arktik, memberikan mereka klaim yang lebih kuat atas sumber daya laut di kawasan tersebut. Namun, dinamika kekuatan di Arktik semakin kompleks dengan masuknya aktor non-Arktik, terutama Tiongkok, yang menyatakan dirinya sebagai “negara dekat-Arktik” dan berusaha memperluas pengaruhnya di kawasan ini.
Amerika Serikat dan Kebijakan Arktik
Amerika Serikat, melalui Alaska, memiliki kepentingan langsung di Arktik. Kebijakan Arktik AS berfokus pada keamanan nasional, perlindungan lingkungan, dan kerja sama internasional. Pada tahun 2022, Departemen Pertahanan AS merilis Strategi Arktik yang diperbarui, menekankan pentingnya mempertahankan kehadiran militer di kawasan tersebut untuk mengimbangi aktivitas Rusia dan Tiongkok. AS juga mendorong penerapan Kode Polar Organisasi Maritim Internasional untuk mengatur pelayaran di perairan Arktik.

Rusia: Dominasi di Arktik
Rusia memiliki garis pantai Arktik terpanjang dan telah secara agresif memperluas kehadirannya di kawasan tersebut. Sejak 2007, ketika ekspedisi Rusia menanam bendera titanium di dasar laut Kutub Utara, negara ini telah membuka kembali pangkalan militer era Soviet, membangun infrastruktur baru, dan memperluas armada pemecah esnya. Pada 2020, Rusia menerbitkan Kebijakan Dasar Negara di Arktik hingga 2035, yang menekankan pengembangan Jalur Laut Utara sebagai rute pelayaran internasional dan eksploitasi sumber daya hidrokarbon.
Tiongkok: “Jalur Sutra Kutub”
Meskipun bukan negara Arktik, Tiongkok telah meningkatkan investasi dan kehadirannya di kawasan ini. Pada 2018, Tiongkok merilis Kebijakan Arktik resmi pertamanya, mengumumkan rencana untuk “Jalur Sutra Kutub” sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalur. Tiongkok telah berinvestasi dalam proyek ekstraksi sumber daya di Rusia dan Greenland, serta membangun kapal pemecah es untuk penelitian ilmiah. Kehadiran Tiongkok di Arktik menimbulkan kekhawatiran di antara negara-negara Arktik, terutama AS, yang melihatnya sebagai tantangan terhadap tata kelola regional.

Negara-Negara Nordik dan Kanada
Negara-negara Nordik (Norwegia, Denmark, Islandia, Swedia, dan Finlandia) dan Kanada mengambil pendekatan yang lebih kooperatif terhadap tata kelola Arktik, menekankan diplomasi multilateral dan perlindungan lingkungan. Namun, mereka juga meningkatkan kapabilitas militer mereka di kawasan tersebut. Norwegia dan Rusia menyelesaikan sengketa perbatasan laut di Laut Barents pada 2010 setelah negosiasi selama 40 tahun, membagi wilayah seluas 175.000 km² yang diperebutkan. Penyelesaian ini membuka jalan bagi eksplorasi minyak dan gas di kawasan tersebut.
Potensi Sumber Daya Alam di Laut Arktik
Laut Arktik menyimpan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, yang semakin dapat diakses karena pencairan es kutub. Menurut survei U.S. Geological Survey tahun 2008, Arktik diperkirakan mengandung sekitar 30% cadangan gas alam yang belum ditemukan dan 13% cadangan minyak dunia. Sebagian besar sumber daya ini terletak di landas kontinen yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara Arktik.

Minyak dan Gas
Eksplorasi minyak dan gas di Arktik telah meningkat dalam dekade terakhir, meskipun menghadapi tantangan teknis dan lingkungan yang signifikan. Proyek-proyek besar seperti Yamal LNG Rusia dan ladang gas Snøhvit Norwegia telah mulai beroperasi. Namun, biaya tinggi, risiko lingkungan, dan tekanan dari aktivis iklim telah menyebabkan beberapa perusahaan minyak besar, termasuk Shell dan Total, menghentikan atau mengurangi operasi mereka di Arktik. Data terbaru dari 2022 menunjukkan bahwa produksi minyak dan gas di Arktik Rusia mencapai 26% dari total produksi negara tersebut.
Mineral Strategis
Selain hidrokarbon, Arktik juga kaya akan mineral strategis seperti nikel, kobalt, tembaga, dan elemen tanah jarang, yang penting untuk teknologi hijau dan industri pertahanan. Greenland memiliki salah satu deposit elemen tanah jarang terbesar di dunia, yang menarik minat investor internasional, termasuk Tiongkok. Pada 2021, pemerintah Greenland yang baru terpilih menghentikan proyek pertambangan uranium dan elemen tanah jarang Kvanefjeld karena kekhawatiran lingkungan, menunjukkan kompleksitas politik dalam pengembangan sumber daya di kawasan ini.

Jalur Pelayaran Baru
Pencairan es laut Arktik membuka jalur pelayaran baru yang dapat secara signifikan mempersingkat waktu perjalanan antara Asia dan Eropa. Jalur Laut Utara (Northern Sea Route) sepanjang pantai Rusia dapat memangkas jarak pelayaran antara Rotterdam dan Yokohama hingga 40% dibandingkan dengan rute melalui Terusan Suez. Pada 2021, volume kargo yang melalui Jalur Laut Utara mencapai 34,9 juta ton, meningkat hampir 2% dari tahun sebelumnya. Rusia menargetkan volume kargo tahunan mencapai 80 juta ton pada 2024, meskipun para ahli menganggap target ini terlalu ambisius.
“Perubahan iklim mengantarkan perlombaan sumber daya baru di Arktik. Berbagai negara sedang melakukan manuver untuk menguasai kawasan itu, yang menyimpan banyak cadangan minyak, gas, dan mineral yang baru saja dapat diakses ketika es di kutub meleleh dengan laju yang semakin cepat.”
Perikanan
Perairan Arktik juga menjadi semakin penting untuk industri perikanan global. Pergeseran pola migrasi ikan akibat pemanasan laut telah mendorong stok ikan komersial ke arah utara. Pada 2018, sepuluh negara termasuk lima negara Arktik, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Islandia, dan Uni Eropa menandatangani Perjanjian untuk Mencegah Penangkapan Ikan Tidak Diatur di Laut Arktik Tengah, yang melarang penangkapan ikan komersial di perairan internasional Arktik selama 16 tahun untuk memungkinkan penelitian ilmiah lebih lanjut.
Risiko Lingkungan dan Keamanan di Laut Arktik
Meskipun menawarkan peluang ekonomi yang signifikan, pembukaan Arktik juga membawa risiko lingkungan dan keamanan yang substansial. Perubahan iklim terjadi dua kali lebih cepat di Arktik dibandingkan dengan rata-rata global, fenomena yang dikenal sebagai “amplifikasi Arktik”. Data dari National Snow and Ice Data Center menunjukkan bahwa luas es laut Arktik pada September 2023 adalah 4,23 juta kilometer persegi, 1,65 juta kilometer persegi di bawah rata-rata 1981-2010.

Dampak Perubahan Iklim
Pencairan permafrost dan es laut mengancam ekosistem unik Arktik dan komunitas masyarakat adat yang bergantung padanya. Spesies ikonik seperti beruang kutub terancam punah karena habitat mereka menghilang. Selain itu, pencairan permafrost melepaskan metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida, menciptakan umpan balik positif yang mempercepat pemanasan global. Studi terbaru dari 2022 menunjukkan bahwa Arktik dapat mengalami musim panas tanpa es secepat tahun 2035, jauh lebih awal dari proyeksi sebelumnya.
Konflik Teritorial
Meskipun sebagian besar sumber daya Arktik berada dalam ZEE yang diakui, masih ada beberapa sengketa teritorial yang belum terselesaikan. Klaim yang tumpang tindih atas landas kontinen yang diperluas, terutama di sekitar Punggungan Lomonosov yang membentang di bawah Kutub Utara, telah diajukan oleh Rusia, Kanada, dan Denmark. Klaim-klaim ini sedang ditinjau oleh Komisi PBB tentang Batas Landas Kontinen berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Ironisnya, AS belum meratifikasi UNCLOS, membatasi kemampuannya untuk mengajukan klaim formal.

Keamanan Maritim
Peningkatan aktivitas maritim di Arktik menimbulkan tantangan keamanan baru. Infrastruktur pencarian dan penyelamatan masih terbatas, dan kondisi cuaca ekstrem dapat dengan cepat mengubah keadaan darurat menjadi bencana. Pada 2021, kapal kargo Ever Given yang tersangkut di Terusan Suez mendorong peningkatan minat pada rute Arktik sebagai alternatif, tetapi risiko navigasi di perairan yang dipenuhi es tetap tinggi. Selain itu, meningkatnya aktivitas militer di kawasan ini meningkatkan risiko kesalahpahaman dan konflik yang tidak disengaja.
Kasus Sengketa ZEE di Laut Barents: Setelah negosiasi selama 40 tahun, Norwegia dan Rusia menandatangani perjanjian pada 2010 untuk menyelesaikan sengketa perbatasan maritim di Laut Barents. Perjanjian ini membagi wilayah seluas 175.000 km² yang diperebutkan dan menetapkan kerangka kerja untuk kerja sama dalam pengelolaan sumber daya perikanan dan hidrokarbon. Penyelesaian ini dianggap sebagai model untuk resolusi sengketa teritorial di Arktik melalui negosiasi damai.
Dampak pada Masyarakat Adat
Sekitar 400.000 masyarakat adat tinggal di Arktik, termasuk Inuit di Kanada dan Greenland, Sami di Skandinavia, dan berbagai kelompok pribumi di Rusia. Perubahan iklim dan pengembangan industri mengancam cara hidup tradisional mereka yang bergantung pada berburu, menangkap ikan, dan bermigrasi mengikuti pola musiman. Namun, pengembangan ekonomi juga dapat membawa peluang baru. Studi dari 2021 menunjukkan bahwa proyek ekstraksi sumber daya di Arktik Kanada telah menciptakan lebih dari 1.500 pekerjaan untuk masyarakat Inuit, meskipun dampak budaya dan lingkungan tetap menjadi kekhawatiran.

Militerisasi Arktik
Dalam dekade terakhir, negara-negara Arktik telah meningkatkan kehadiran militer mereka di kawasan tersebut. Rusia telah membuka kembali dan memodernisasi lebih dari 50 pangkalan era Soviet di Arktik, termasuk kompleks militer Arctic Trefoil di Kepulauan Franz Josef. NATO juga telah meningkatkan latihan militer di kawasan tersebut, dengan latihan Trident Juncture 2018 yang melibatkan 50.000 personel menjadi latihan terbesar sejak Perang Dingin. Meskipun Dewan Arktik secara eksplisit mengecualikan masalah keamanan dari mandatnya, meningkatnya militerisasi menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konflik di masa depan.
Masa Depan Tata Kelola Arktik
Menghadapi tantangan dan peluang yang kompleks di Arktik, kerja sama internasional menjadi semakin penting. Dewan Arktik, yang didirikan pada 1996, tetap menjadi forum utama untuk koordinasi kebijakan di antara negara-negara Arktik. Dewan ini telah memfasilitasi beberapa perjanjian penting, termasuk Perjanjian Kerja Sama Pencarian dan Penyelamatan Udara dan Maritim Arktik (2011) dan Perjanjian Kerja Sama tentang Kesiapsiagaan dan Respons Polusi Minyak Laut di Arktik (2013).

Kerangka Hukum Internasional
UNCLOS menyediakan kerangka hukum dasar untuk tata kelola Arktik, mengatur hak dan kewajiban negara-negara di laut. Namun, kegagalan AS untuk meratifikasi konvensi ini menciptakan kesenjangan dalam rezim hukum. Selain UNCLOS, Kode Polar yang diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional pada 2017 menetapkan standar keselamatan dan lingkungan untuk kapal yang beroperasi di perairan kutub. Namun, masih ada kebutuhan untuk instrumen hukum tambahan untuk mengatasi tantangan khusus Arktik, seperti pengelolaan perikanan dan respons tumpahan minyak.
Peran Aktor Non-Negara
Selain negara-negara, aktor non-negara seperti perusahaan multinasional, organisasi masyarakat adat, dan LSM lingkungan memainkan peran penting dalam tata kelola Arktik. Dewan Sirkumpolar Inuit mewakili sekitar 180.000 Inuit di empat negara dan telah menjadi suara yang kuat untuk hak-hak masyarakat adat dalam pengambilan keputusan tentang Arktik. Sementara itu, inisiatif seperti Arctic Economic Council berusaha untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan praktik bisnis yang bertanggung jawab di kawasan tersebut.

Skenario Masa Depan
Masa depan Arktik akan dibentuk oleh interaksi kompleks antara perubahan iklim, geopolitik, dan pengembangan ekonomi. Dalam skenario optimis, kerja sama internasional akan memperkuat, dengan negara-negara Arktik dan non-Arktik bekerja sama untuk mengatasi tantangan bersama. Dalam skenario pesimis, persaingan sumber daya dan ketegangan geopolitik dapat mengarah pada fragmentasi tata kelola dan potensi konflik. Kemungkinan besar, masa depan akan mencakup elemen dari kedua skenario tersebut, dengan kerja sama di beberapa bidang dan persaingan di bidang lainnya.
Negara | Kebijakan Pertahanan Arktik | Kapabilitas Militer | Prioritas Strategis |
Rusia | Kebijakan Dasar Negara di Arktik hingga 2035 (2020) | 50+ pangkalan militer, 4 brigade Arktik, armada pemecah es nuklir terbesar | Melindungi Jalur Laut Utara, mengamankan akses ke sumber daya hidrokarbon |
Amerika Serikat | Strategi Arktik DoD (2022) | Pangkalan udara di Alaska, 2 pemecah es (dengan rencana untuk lebih banyak) | Mengimbangi Rusia dan Tiongkok, menjaga kebebasan navigasi |
Kanada | Kebijakan Arktik dan Utara (2019) | Pusat Pelatihan Arktik, Rangers Kanada, 6 kapal patroli es baru | Menegaskan kedaulatan atas Jalur Barat Laut, melindungi masyarakat adat |
Norwegia | Strategi Arktik Norwegia (2020) | Markas Operasi Bersama di Utara, kapal patroli pesisir, pesawat pengintai | Mengamankan perbatasan dengan Rusia, melindungi sumber daya perikanan |
Denmark/Greenland | Strategi Kerajaan untuk Arktik (2021) | Komando Arktik, kapal patroli Knud Rasmussen, unit Sirius Patrol | Menegaskan klaim atas Punggungan Lomonosov, otonomi Greenland |
Kesimpulan: Menyeimbangkan Peluang dan Tantangan
Politik Laut Arktik berada pada persimpangan perubahan iklim, geopolitik, dan pengembangan ekonomi. Pencairan es kutub membuka peluang baru untuk ekstraksi sumber daya dan pelayaran, tetapi juga menghadirkan risiko lingkungan dan keamanan yang signifikan. Meskipun ada kekhawatiran tentang “perlombaan Arktik” yang baru, sebagian besar interaksi di kawasan ini tetap kooperatif, dengan negara-negara Arktik menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan sengketa melalui kerangka hukum yang ada.
Namun, meningkatnya minat dari aktor non-Arktik, terutama Tiongkok, dan ketegangan geopolitik yang lebih luas antara Rusia dan Barat menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan kerja sama ini. Tantangan utama ke depan adalah mengembangkan rezim tata kelola yang dapat menyeimbangkan kepentingan berbagai pemangku kepentingan sambil melindungi lingkungan Arktik yang rapuh dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Hanya dengan pendekatan kolaboratif dan inklusif, komunitas internasional dapat memastikan bahwa Arktik tetap menjadi wilayah perdamaian, kerja sama, dan pembangunan berkelanjutan.

➡️ Baca Juga: Grab Nilai Pengangkatan Mitra Jadi Karyawan Tetap Tidak Cocok
➡️ Baca Juga: Teknologi Drone Bantu Pemantauan Lahan Pertanian